Total Tayangan Halaman

Selasa, 14 Februari 2012

Akal, Metode Berpikir, dan Proses Berpikir




Pengantar
Pembahasan akal, metode berpikir, dan proses berpikir sangat penting untuk diketahui oleh setiap muslim. Mengapa? Sebab, Allah telah menempatkan manusia sebagai makhluk yang mulia dibandingkan makhluk Allah yang lain. Allah berfirman,
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At Tiin: 4)

Dia (iblis) berkata: "Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebagian kecil.” (QS. Al Isra’: 62)

Pembahasan akal, juga sangat relevan dengan proses keimanan seseorang bahwa akal merupakan modal untuk meraih keimanan sejati, bukan keimanan yang rapuh. Allah berfirman,
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,” (QS. Ali Imran: 190)

Pembahasan tentang hakikat akal, metode berpikir, dan proses berpikir juga sangat penting untuk mengkonter setiap usaha-usaha untuk mengaburkan keimanan seorang muslim layaknya ilmu kalam dan filsafat yang telah membuat kaum muslim jauh tersesat. Fakta sejarah ilmu kalam telah menunjukkan kenyataan bahwa akal yang menjadi asas dalam meraih keimanan telah ditempatkan tidak pada tempatnya (tidak sesuai proporsi yang benar). Sehingga mengakibatkan kegoncangan luar biasa dalam tubuh kaum muslimin sendiri. Oleh karena itu, dengan mengetahui akal, metode berpikir, dan hakikat berpikir, insya Allah kita akan memiliki keimanan yang mantap, memuaskan akal, dan menentramkan hati.


Antara Otak dan Akal
Kita sering sekali mendengar pernyataan bahwa yang dimaksud dengan akal adalah otak. Otak yang berwarna putih di dalam kepala kita, itulah yang disebut dengan akal. Mereka mengatakan akal adalah bagian terpenting seseorang dalam berpikir, sehingga orang yang melakukan suatu perbuatan tanpa melalui proses berpikir dikatakan ‘tidak punya otak’. Benarkah demikian?

Contoh: Ada seseorang yang akan merampok sebuah bank. Perampok itu datang tiba-tiba, sendirian, tanpa penutup wajah, tanpa senjata, tidak bisa bela diri, dan itu dilakukan pada siang hari. Dia hanya membentak-bentak teller bank agar menyerahkan uang yang ada di bank tersebut. Apa yang terjadi? Seketika sekuriti bank tersebut menangkapnya dan memukulinya. Apa pandangan Anda terhadap si perampok tersebut. Pasti Anda akan mengatakan bahwa perampok itu ‘tidak punya otak’. Sebab, dia telah bertindak bodoh dan ceroboh sekali. Tetapi benarkah dia tidak punya otak?

Ternyata tidak. Perampok itu tetap saja punya otak, sekalipun dia bertindak bodoh. Kata-kata tersebut seringkali muncul dikarenakan, sejak awal kita sudah ditanamkan asumsi bahwa yang dimaksud dengan akal, tidak lain adalah sebuah organ di dalam kepala manusia.

Otak, berbeda dengan akal. Akal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk Allah yang lain. Buktinya, binatang juga mempunyai otak. Tetapi binatang tidak bisa berpikir. Anak kecil, juga memiliki otak. Akan tetapi juga belum bisa berpikir secara sempurna. Demikian pula orang gila. Dia tidak bisa berpikir, sekalipun orang gila tersebut memiliki otak.

Otak manusia, terdapat di dalam kepala manusia. Otak manusia adalah struktur pusat pengaturan yang memiliki volume sekitar 1.350 cc dan terdiri atas 100 juta sel saraf atau neuron. Sel saraf ini kemudian dihubungkan ke indera dan bagian tubuh manusia yang lainnya. Menurut penelitian (eksperimen), otak berperan dalam proses berpikir. Bahkan dapat disimpulkan bahwa otak manusia dapat menyimpan 90 juta informasi. Inilah realitas otak manusia.

Sedangkan hati merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh, terletak dalam rongga perut sebelah kanan, tepatnya di bawah diafragma. Berdasarkan fungsinya, hati juga termasuk sebagai alat ekskresi. Hal ini dikarenakan hati membantu fungsi ginjal dengan cara memecah beberapa senyawa yang bersifat racun dan menghasilkan amonia, urea, dan asam urat dengan memanfaatkan nitrogen dari asam amino. Proses pemecahan senyawa racun oleh hati disebut proses detoksifikasi.

Ini artinya, otak dan hati, merupakan organ tubuh manusia. Oleh karena itu, tidak tepat jika menyatakan akal atau hati itu letaknya ada di dada atau kepala manusia. Jika bisa diterima, maka hal ini juga pasti berlaku untuk orang yang gila atau pada binatang. Faktanya, orang yang gila, sekalipun di kepalanya ada otak dan di dadanya ada hati, tetapi tetap saja tidak bisa berpikir dan merasakan. Demikian pula binatang. Hampir semua binatang memiliki otak dan hati. Tetapi semua itu tidak berlaku. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Sebab, orang yang gila dan binatang, otaknya tidak memiliki khasiyyat (potensi) untuk mengasosiasikan (mengaitkan) antara objek yang diinderanya dengan informasi yang didapatnya. Jika orang gila, mungkin dengan sisa-sisa informasi yang dimilikinya, masih dapat menghasilkan ‘sedikit’ pemikiran. Tetapi bagi binatang tidak. Binatang hanya mampu melakukan istirja’ul ihsas atau penginderaan berulang-ulang atas objek yang ada.

Otak Hewan dan Otak Manusia
Otak hewan atau otak orang gila, tidak memiliki fungsi atau potensi (khasiyyat) untuk mengaitkan objek yang sedang diindera dengan informasi awal yang ada. Karena itu, hewan tidak akan bisa diajari tata krama dan sopan-santun. Padahal hewan memiliki otak di dalam kepalanya, bisa menerima informasi, dan diberi objek untuk diindera. Tetapi sekali lagi, hewan tidak bisa menghasilkan pemikiran apa pun. Akibatnya, setiap informasi yang diberikannya, tidak akan menjadi memori dan akan hilang begitu saja, kecuali jika informasi itu diberikan secara berulang-ulang.

Tetapi kemudian ada yang coba membantah, buktinya banyak binatang yang ‘cerdas’ atau ‘pintar’ setelah dididik oleh seseorang. Kita sering menjumpai hal ini dalam pertunjukan sirkus, bagaimana seekor gajah bisa bermain bola, seekor singa bisa duduk, seekor lumba-lumba bisa ‘mencium’ manusia, dan lain-lain.

Berkaitan dengan hal tersebut, sesungguhnya itu semua bukanlah diperoleh melalui proses berpikir. Itu semua terjadi karena adanya istirja’ul ihsas atau kemampuan mengingat kembali apa yang telah diinderanya. Binatang bisa mengingat kembali apa yang diinderanya, itu karena binatang tersebut melakukan penginderaan yang berulang-ulang pada objek yang sama. Kemampuan mengingat kembali (istirja’ul ihsas) ini, dilakukan binatang secara alamiah. Khususnya terdapat pada hal-hal yang berkaitan dengan naluri (misalnya naluri seksual) dan kebutuhan fisik (misalnya makan). Tidak berkaitan dengan perkara-perkara di luar dua hal ini.

Contoh: seekor lumba-lumba ‘dididik’ agar mau mencium pipi seseorang. Lumba-lumba itu tidak akan mau mencium pipi seseorang jika tidak Anda berikan makanan terlebih dahulu. Coba, Anda beri makan lumba-lumba itu kemudian Anda suruh dia mencium pipi Anda. Pasti lumba-lumba itu akan langsung mencium Anda. Jika hal ini Anda lakukan terus berulang-ulang, maka setiap kali Anda memberikan makan, maka dia akan mencium Anda atau melakukan hal yang lain, yang sudah Anda latihkan.

Contoh lain: Anda membunyikan lonceng untuk memanggil kucing Anda agar mereka makan. Maka jika hal ini Anda lakukan secara berulang-berulang, kucing Anda akan datang setiap kali Anda membunyikan lonceng. Tetapi coba, Anda ubah sedikit informasi yang Anda berikan. Misalnya, setiap Anda membunyikan lonceng, kucing Anda datang, kemudian Anda pukul. Jika perbuatan ini Anda lakukan berulang-ulang, maka suatu saat informasi pertama akan hilang dan beralih pada informasi yang kedua.

Ini berbeda dengan otak manusia yang memang memiliki potensi untuk mengaitkan dengan informasi yang didapat. Contoh: Ada seseorang yang bernama Agus melihat orang yang bernama Trisa di kota Solo. Ketika lebaran tiba, Agus dan Trisa sama-sama mudik ke Surabaya. Mereka bertemu. Agus pasti akan bisa mengingat akan Trisa. Tetapi sekedar mengingat saja. Sebab, Agus tidak memiliki informasi apa pun tentang Trisa. Tetapi jika Agus memiliki informasi tentang Trisa; dimana rumahnya, apa pekerjaannya, siapa saja keluarganya, bagaimana perilakunya, dan lain-lain, maka Agus pasti akan bisa mengambil suatu kesimpulan tentang Trisa.

Contoh lain: Gambar kucing di dalam televisi yang dilihat tikus dan manusia. Ketika manusia melihat gambar kucing di televisi, manusia tidak akan bereaksi apa-apa atau biasa-biasa saja. Sekalipu kucing itu juga mengeluarkan suara. Tetapi, jika ada tikus yang lewat, kemudian melihat gambar kucing di televisi tersebut, tentu tikus itu akan lari. Apalagi jika disertai dengan suara kucingnya.

Ini menunjukkan bahwa tikus tidak memiliki akal, sekalipun dia memiliki indera, otak, dan dihadapkan pada sebuah objek. Tikus hanya bisa menginderanya saja, bukan memikirkan. Penginderaan atas apa? Atas lawannya, yaitu kucing. Penginderaan yang berulang-ulang, telah menyisakan memori bahwa kucing merupakan musuhnya (tikus).

Hal di atas menunjukkan bahwa apa yang dihasilkan binatang dengan manusia itu berbeda. Binatang bisa mengambil keputusan, karena proses penginderaan. Tetapi, manusia bisa menghasilkan keputusan, itu karena manusia mempunyai potensi untuk mengaitkan informasi dengan objek yang diinderanya.

Hakikat Proses Berpikir
Dengan melihat berbagai gambaran di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa ada empat hal yang dapat membangkitkan akal untuk berpikir, yaitu otak yang sehat, indera yang sehat, objek yang diindera, dan informasi awal. Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, ini sangat bersesuaian dengan ayat berikut,

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’ Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar! Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" (QS. Al Baqarah: 30-33)

Brdasarkan ayat tersebut, kita memahami bahwa sebelum objek yang diindera disodorkan pada manusia pertama (Adam), harus ada informasi awal terlebih dahulu. Allah berfirman,
“…Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya…” (QS. Al Baqarah: 31)

Hal ini membuktikan bahwa Allah telah memberikan informasi awal (maklumat sabiqah) kepada Adam. Mengapa? Ya tentu saja, sebab bagaimana mungkin Adam dapat menyebutkan nama-nama benda sedangkan dia belum mendapatkan informasi apa-apa tentang objek yang diinderanya? Ini menunjukkan bahwa Adam memang diberikan informasi awal tentang benda-benda yang diinderanya. Kemudian Adam pun bisa menyebutkannya, ketika Allah memerintahkannya.
“….Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini…” (QS. Al Baqarah: 33)

Jadi, inilah fakta dari proses berpikir itu. Memang demikianlah adanya. Tanpa adanya keempat unsur di atas, kita tidak akan mungkin bisa melalui proses berpikir. Proses berpikir seperti ini disebut dengan proses berpikir rasional. Mengapa disebut proses berpikir rasional? Sebab, proses ini hanya akan terjadi pada hal-hal yang bisa diindera, atau objek yang tidak dapat diindera tetapi akibatnya (pengaruhnya) bisa diindera. Demikia pula sebaliknya, orang yang berpikir akan sesuatu yang tidak ada wujudnya (tidak ada objeknya), maka proses berpikir seperti ini disebut dengan proses berpikir irrasional (tidak masuk akal).

Metode Berpikir Rasional
Apa itu metode berpikir? Metode berpkir adalah cara yang digunakan akal untuk menghasilkan sebuah keputusan atau kesimpulan (kongklusi). Jika kita merujuk pada definisi proses berpikir di atas, jelas bahwa metode berpikir yang paling benar dan keputusan atau kesimpulan yang benar hanyalah dengan metode berpikir rasional. Sedangkan metode berpikir irrasional, akan menghasilkan sesuatu yang (bisa) benar tetapi juga bisa salah.

Apalagi dalam hal keyakinan (akidah), jelas sekali bahwa akidah harus selalu benar dan tidak ada salah atau keraguan sedikit pun. Pertanyaannya adalah: bagaimana jika Anda memiliki keyakinan, tetapi masih bisa menimbulkan perdebatan? Atau, bagaimana mungkin Anda punya keyakinan, tetapi menyisakan keraguan?

Misalnya, jika kita ditanya: Apakah Anda pernah ke Amerika? Jawab kita mungkin: belum. Lalu kita ditanya lagi: Apakah Anda percaya di Amerika itu ada patung Liberty? Jawab kita: percaya. Kemudian, kita ditanya lagi: Apakah Anda yakin? Lalu kita jawab: Yakin. Lalu dilanjutkan dengan pertanyaan: Bagaimana Anda yakin, sedangkan Anda belum pernah melihatnya secara langsung dengan mata Anda sendiri? Mungkin Anda akan kebingungan untuk menjawab. Paling-paling jawabannya adalah: dari televisi, koran, internet, dan lain sebagainya.

Atau pertanyaan lainnya: Apakah Anda yakin akan keberadaan Allah Sang Maha Pencipta? Mengapa Anda begitu yakin bahwa Allah Al Khaliq (Maha Pencipta) itu benar-benar ada? Atas dasar apa keyakinan Anda? Bagaimana mungkin Anda yakin, padahal Anda tidak melihat-Nya secara langsung dengan mata kepala sendiri? Jika pertanyaan ini terus dikejar, kemungkinan tidak akan ada habisnya.

Metode rasional adalah metode (manhaj) tertentu yang ditempuh untuk mengetahui realitas sesuatu yang dikaji, dengan jalan memindahkan penginderaan terhadap fakta melalui panca indera ke dalam otak, disertai dengan adanya sejumlah informasi terdahulu yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut. Selanjutnya, otak akan memberikan penilaian terhadap fakta tersebut.

Jika metode rasional ditempuh dengan benar, maka otak akan memberikan penilaian atas fakta (objek) yang sedang diindera tersebut. Jika ini digunakan dengan benar, maka kesimpulannya juga akan benar. Tetapi, kesimpulan yang yang didapat oleh seseorang, harus dikaji terlebih dahulu. Jika kesimpulan ini merupakan penilaian atas keberadaan (eksistensi) sesuatu, maka kesimpulan tersebut adalah kesimpulan yang bersifat pasti, yang tidak mungkin mengandung kesalahan. Ini karena penginderaan tersebut berdasarkan penginderaan terhadap fakta (objek), sedangkan penginderaan atas keberadaan fakta (objek, realitas) tidak mungkin salah.

Contoh: Suatu ketika Anda pulang dari kampus atau kantor, kemudian mendapati jalan-jalan di sekitar rumah Anda basah dan terdapat air menggenang, air selokan mengalir deras, pohon-pohon basah, rumah-rumah tetangga juga basah. Apa kesimpulan Anda? Pasti habis ada hujan. Sekali pun Anda tidak melihat hujannya, tetapi dengan melihat pengaruh atau akibat yang ditimbulkan, Anda sudah pasti berkeyakinan bahwa hujan telah turun. Kesimpulan Anda ini bersifat pasti benar, dan tidak mungkin mengandung kesalahan.

Inilah fakta dari proses berpikir itu:
1) Ada objek yang diindera: yaitu pepohonan basah, jalan-jalan basah, rumah penduduk basah, dan sebagainya.
2) Ada akal yang sehat: yaitu akal Anda yang memang sehat
3) Ada indera yang sehat: yaitu Anda bisa melihat berbagai efeknya dengan mata Anda sendiri
4) Ada informasi awal: yaitu sejak awal Anda sudah memiliki informasi bahwa ketika hujan turun maka lingkungan akan basah

Kesimpulannya: Hujan habis turun.

Tetapi jika kesimpulan tersebut merupakan penilaian atas realitas sesuatu, atau sifat sesuatu, maka kesimpulaan itu bersifat dugaan (zhanni) yang masih mungkin mengandung kesalahan. Penilaian ini diperoleh melalui berbagai informasi atau analisis terhadap fakta yang diindera. Hal ini masih mungkin menjadi kesalahan. Akan tetapi, kesimpulan yang ada tetap merupakan pemikiran yang tepat hingga terbukti kesalahannya. Penilaian itu akan dikatakan salah, ketika terbukti salah. Jika tidak terbukti, maka penilaian itu menjadi benar adanya.

Misalnya: Kedatangan Obama ke Indonesia, apakah akan menjajah atau menjalin kerja sama mutualisme (saling menguntungkan). Analisis pun berkembang. Analisis ini berdasarkan pada informasi yang dimiliki oleh para penganalisis. Ada penganalisis yang menyatakan bahwa Obama datang memang untuk menjalin kerja sama yang baik. Tetapi analisis yang lain menyatakan bahwa Obama datang ke Indonesia untuk menjajah dan merampok kekayaan alam.

Dari kedua jenis analisis tentang Obama, mana yang lebih kuat argumennya, maka harus dikembalikan kepada informasi-informasi yang dimiliki. Masing-masing analisis harus beradu argumen tentang berbagai informasi yang dimiliki. Kemudian, analisis yang paling tepat adalah analisis yang lebih kuat informasinya. Misalnya, analisisyang mengatakan bahwa Obama datang ke Indonesia adalah untuk menjajah adalah argumen yang menang. Tetapi argumen ini pun, masih memiliki kemungkinan salah, sampai ditemukan bukti-bukti bahwa Obama memang benar-benar menjajah.

Contoh lain:
Misalnya hukum menerima Obama ke Indonesia. Ada dua pendapat, ada yang menghalalkan, ada pula yang mengharamkan. Pihak yang menghalalkan mendasarkan pada salah satu argumen dari hadis “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia menyambung tali persahabatan; dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik-baik saja atau hendaklah dia diam saja.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sedangkan orang yang mengharamkan menerima kedatangan Obama mendasarkan argumennya pada salah satu dalil, yaitu “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi.” (QS. Ali Imran: 118)

Kedua analisis hukum tersebut harus didiskusikan hingga ditemukan argumen (hujjah) terkuat. Hujjan atau argumen itu akan tetap dinilai benar, selama tidak ada fakta yang menunjukkan kesalahannya. Misalnya, dalil yang mengharamkan lebih kuat daripada dalil yang menghalalkan. Maka hukum syara’ dari keharaman itu akan tetap berlaku, sampai terbukti kesalahannya. Misalnya, ternyata Obama datang ke Indonesia bukan untuk menjajah tetapi untuk memuliakan orang Indonesia. Ini misalkan saja.

Jadi, dalam aspek hukum, juga tidak perlu menghasilkan sesuatu yang qath’i. Cukup dengan dugaan saja.

Metode Berpikir Ilmiah dan Logika (Mantiq)
Metode berpikir ilmiah adalah cara menghasilkan pemikiran dengan melalui penelitian dan percobaan (eksperiman) terhadap objek yang diindera. Metode berpikir ilmiah hanya bisa digunakan pada objek-objek yang bisa diindera yang bersifat kebendaan/material (fisik), yaitu berpikir tentang hal-hal yang berbau fisika atau kimia. Misalnya, berpikir tentang zat-zat kimiawi, zat-zat gizi dalam makanan, observasi iklim, cuaca, dan sebagainya. Jadi, yang dibahas dalam metode berpikir ilmiah adalah hal-hal yang sifatnya materi bukan pemikiran.

Hasil dari metode berpikir ilmiah, tidak bersifat pasti. Hasilnya hanya bersifat dugaan saja. Anda bisa melihat, dulu pernah dilakukan eksperimen, kemudian ditemukan kesimpulan bahwa benda terkecil adalah molekul. Tetapi pada masa berikutnya, ditemukan penelitian lagi dan ditemukan bahwa benda terkecil adalah atom, bukannya molekul. Ini menunjukkan bahwa kesimpulannya tidak bisa dikatakan pasti atau mutlak benar, sebab masih ada kemungkinan lain selama masih diadakannya eksperimen.

Contoh lain: Pluto, dulu dikatakan sebagai planet sejak 1930. Tetapi kemudian dengan peralatan yang lebih canggih, dilakukan penelitian (eksperimen) dengan metode ilmiah, hingga akhirnya para ahli sepakat bahwa Pluto bukanlah termasuk dalam kategori planet. Hal ini ditetapkan sejak tahun 2006. Ini menunjukkan bahwa hasil dari metode berpikir ilmiah, hasilnya berupa dugaan. Artinya, dulu para ahli menduga-duga, bahwa Pluto adalah planet. Tetapi kemudian tidak dikatakan planet setelah adanya eksperimen yang lain.

Sedangkan logika adalah metode berpikir dengan mengaitkan unsur-unsur pembentuk kesimpulan. Unsur-unsur ini disebut dengan premis. Pemikiran ini muncul di Yunani yang oleh para filosof, khususnya Aristoteles. Metode berpikir ini tidak dibenarkan jika digunakan untuk membangun keyakinan.

Contoh: premis pertama mengatakan, bahwa pensil itu terbuat dari kayu. Premis kedua menyatakan bahwa kayu bisa terbakar. Kesimpulannya adalah bahwa pensil bisa terbakar. Ini benar.

Tetapi coba lihat contoh berikut ini. Alquran diturunkan dalam bahasa Arab. Bahasa Arab adalah sesuatu yang baru (muhdats). Padahal, sesuatu yang baru adalah makhluk. Kesimpulannya, Alquran adalah makhluk. Ini salah. Ini tidak benar.

Jadi, logika memang tidak boleh dijadikan sebagai metode berpikir. Apalagi dalam hal akidah. Akidah (keyakinan) harus diraih melalui metode berpikir rasional, bukan logika atau metode ilmiah.

Sebenarnya, metode berpikir itu hanya ada satu, yaitu metode berpikir rasional. Sedangkan logika atau ilmiah, hanya salah satu cara berpikir saja. Tetapi kebanyakan orang menganggapnya sebagai metode berpikir.

Objek Pemikiran
Objek pemikiran, itu ada dia, yaitu yang dapat dipikirkan dan yang tidak dapat dipikirkan. Objek-objek yang dapat dipikirkan hanyalah objek-objek yang bisa diindera atau pengaruhnya bisa diindera, sedangkan objek yang tidak dapat dipikirkan adalah objek yang realitasnya tidak ada. Objek yang memiliki fakta dan dapat diindera, atau yang pengaruhnya dapat diindera, jika dipikirkan maka akan menghasilkan pemikiran. Sedangkan objek yang tidak memiliki fakta dan tidak dapat diindera pengaruhnya, maka tidak akan menghasilkan pemikiran, tetapi akan menghasilkan khayalan.

1. Objek yang menghasilkan pemikiran
Kita ambil contoh di atas tentang ada dan tidaknya hujan. Anda berkesimpulan bahwa hujan itu memang ada, habis turun. Itu benar. Pengaruhnya jelas terlihat dimana-mana; ada pepohonan basah, rumah-rumah basah, genting-genting basah, jalanan basah, genangan air dimana-mana, air selokan mengalir lancar, dan sebagainya. Ini akan menghasilkan pemikiran, bahwa hujan itu memang benar-benar ada. Sekali pun Anda tidak bisa melihat hujannya, tetapi hakikatnya memang ada. Ini karena memang pengaruh hujan ada dan terlihat di depan mata Anda.

Contoh lain: Pemikiran bahwa Sang Pencipta itu ada ataukah tidak ada. Jika konteks yang ditanyakan adalah: ada atau tidak, maka ini adalah sebuah pemikiran. Mengapa? Ya jelas saja, pengaruh-Nya bisa terlihat dimana-mana. Alam semesta, manusia, dan kehidupan (makhluk) adalah bukti nyata bahwa Sang Pencipta (Al Khaliq) itu ada. Ketiganya (alam semesta, manusia, dan kehidupan), adalah pengaruh dari keberadaan Sang Pencipta.

Ini pulalah yang juga ditekankan Allah kepada manusia, yaitu agar manusia memikirkan hanya untuk hal-hal yang bisa diindera. Alquran, di dalam banyak ayat-Nya, Allah telah memerintahkan manusia untuk memikirkan tentang hal-hal yang inderwi untuk meraih kesadaran akan hubungan manusia dengan Allah. Yaitu bahwa hubungan manusia dengan Allah adalah antara hamba dengan Tuhan. Sehingga dengan begitu, manusia bisa taat kepada Allah dengan ketenteraman hati.

Contoh:
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan.” (QS. Al Ghashiyyah: 17)

Ayat di atas memerintahkan kepada kita untuk memikirkan unta. Unta adalah sesuatu yang bisa diindera.

Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?” (QS. Ar Rum: 8)

Dan tidakkah manusia itu memikirkan bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya dahulu, sedang dia tidak ada sama sekali.” (QS. Maryam: 67)

Ayat di atas memerintahkan kita untuk memahami diri kita (manusia). Kita ini adalah makhluk yang bisa diindera.

Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.” (QS. An Nahl: 69)

Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.” QS. An Nahl: 11)

Buah-buahan madu, lebah, zaitun, korma, anggur dan segala buah-buahan lainnya adalah sesuatu yang bisa diindera.

Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Ar Ra’du: 3)

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al Baqarah: 164)

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191)

Ayat-ayat di atas memerintahkan kita untuk memperhatikan alam semesta seperti bumi, gunung, gunung, sungai, makhluk hidup yang berpasang-pasangan, siang-malam, angin, hewan, dan sebagainya. Itu semua adalah hal-hal yang bisa kita indera. Oleh karena itu, Allah tidak akan memerintahkan hamba-Nya memikirkan tentang sesuatu yang tidak mungkin bisa diindera.

Ini sangat terlihat di Makkah ketika sebelum Islam datang, dan di awal Islam datang. Pada masa itu, di Makkah banyak berkembang paganisme (penyembah berhala). Agama pagan, jauh lebih berkembang di Makkah, daripada agama Nasrani. Mengapa? Sebab, bangsa Arab, pada umumnya mereka tidak suka berpikir untuk hal-hal yang tidak bisa diindera. Hal-hal yang tidak bisa diindera, mereka tinggalkan. Mereka tidak suka dengan cara berakidah yang berbelit-belit.

Agama Nasrani tidak berkembang pada masa itu. Karena agama nasrani mengajarkan tentang trinitas; tiga adalah satu, satu adalah tiga. Hal ini, dalam pandangan orang Makkah, dianggap sebagai sesuatu yang tidak ada realitasnya. Bagaimana bisa satu dikatakan tiga, dan tiga dikatakan satu? Jelas ini tidak masuk akal. Padahal satu adalah satu dan tiga adalah tiga. Oleh karena itu, agama Nasrani tidak berkembang banyak di Makkah. Yang justru berkembang adalah paganisme. Mereka berpikir yang simpel-simpel saja. Mereka membuat Tuhan bisa diindera (berhala), lalu kemudian mereka sembah. Simpel sekali. Demikian pula dengan Islam. Islam juga bisa diterima dengan baik karena ayat-ayat Allah memang memerintahkan orang Makkah untuk memikirkan sesuatu yang bisa diindera dan bisa dipikirkan.

2. Objek yang tidak menghasilkan pemikiran
Objek yang tidak menghasilkan pemikiran akan menghasilkan khayalan, bukan pemikiran. Objek yang tidak menghasilkan pemikiran berangkat dari fakta yang tidak memiliki realitas. Keyakinan akan hasil dari hal ini adalah bersifat dugaan (sangkaan, zhanni). Jika Anda, nekat memikirkannya, bisa dibilang, Anda sedang berpikir yang tidak-tidak.

Kita ambil contoh di atas lagi. Anda sudah yakin bahwa hujan memang turun. Tetapi yakinkah Anda bahwa hujan yang turun itu disertai badai, petir, angin ribut, atau hanya gerimis, atau yang lainnya? Jika Anda, yakin dengan salah satu jawabannya, maka pertanyaannya adalah: Dari mana Anda yakin dengan jawaban Anda? Misalnya, Anda yakin bahwa hujan yang turun itu sangat lebat dengan melihat efek yang ada, misal pohon-pohon pada tumbang. Lalu dari mana Anda yakin bahwa hujan memang turun dengan lebat? Tidak lain, (jika Anda berpikir seperti ini), Anda sedang menduga-duga. Atau dengan kata lain, Anda sedang berkhayal. Berkhayal tentang apa? Tentang hujan, yang Anda sendiri tidak melihatnya.

Contoh lagi: Tentang Zat Allah. Allah itu Maha Berfirman. Kemudian ditanyakan: bagaimana cara Allah berfirman? Apakah dengan mulut atau lisan? Jika iya, bentuknya seperti apa? Sungguh, jika kita nekat memikirkannya, kita sama saja dengan sedang berkhayal. Bermimpi. Meraba-raba sesuatu yang tidak jelas. Atau yang lain. Misalnya Allah Maha Mendengar. Bagaimana cara Allah mendengar? Apakah dengan telinga? Ataukah telinga Allah berbeda dengan telinga manusia? Atau dikatakan, Allah mendengar tetapi tidak seperti mendengarnya manusia? Sungguh, hal ini telah membuat Anda kepayahan dalam berpikir. Anda hanya akan mengalami kesia-siaan belaka. Sesungguhnya Anda tidak sedang berpikir, tetapi sedang berkhayal. Dalam hal keyakinan (akidah) jelas hal ini tidak diperbolehkan.

Contoh lagi. Yaitu tentang ruh/roh (nyawa, sirrul hayah). Nyawa itu ada atau tidak? Jika ada, bentuknya seperti apa? Apakah seperti ketika manusia itu mati? Atau seperti apa? Tentang hal ini, kita hanya diperintahkan untuk mengimani keberadaannya saja. Bukan membahas hakikat ruh. Allah berfirman,
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al Isra’: 85)

Jadi, untuk hal-hal yang tidak bisa diindera, maka kita jangan memikirkannya.

Penutup: Keterbatasan Akal Manusia
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa akal sangat berperan penting dalam aktivitas berpikir. Bukan hanya itu, untuk memikirkan tentang Sang Pencipta dan dalam hal keyakinan, semua dibutuhkan akal. Tetapi ingat, kita harus menyadari bersama bahwa manusia itu adalah makhluk. Sifat makhluk adalah lemah, terbatas, dan membutuhkan. Oleh karena itu, segala yang dimiliki atau dihasilkan makhluk (dalam hal ini adalah manusia) juga lemah, terbatas, dan membutuhkan. Demikian pula akal. Akal manusia juga lemah dan terbatas.

Kelemahan akal manusia, terlihat dari keterbatasan kemampuannya yang hanya bisa memikirkan objek-objek yang bisa diindera. Akal manusia hanya bisa memikirkan hal-hal yang bisa diindera, selain itu tidak bisa. Ini adalah kelemahan akal manusia. Oleh karena itu, karena akal manusia lemah, maka setiap hal-hal yang tidak bisa diindera, baik realitasnya atau pengaruhnya, maka hendaknya tidak dibahas. Mengapa? Ya jelas saja, itu merupakan suatu perbuatan yang sia-sia. Bagaimana bisa kita memikirkan sesuatu yang tidak ada realitasnya? Itu namanya tidak sedang berpikir, tetapi sedang berkhayal.

Jadi, kita memang harus menyadari bersama bahwa akal kita ini lemah. Sehingga, jika kita membahas sesuatu yang memang tidak bisa diindera, itu merupakan suatu kesia-siaan. Dan setiap pembahasan tentang sesuatu yang tidak bisa diindera atau pengaruhnya tidak bisa diindera, harus dihentikan.

Wallahu a’lam..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar