Total Tayangan Halaman

Jumat, 24 Agustus 2012

Syura Bukan Demokrasi

Anggapan bahwa syura (musyawarah) sama dengan demokrasi, telah masyhur dan  sudah lama adanya.  Meski demikian, anggapan ini sesungguhnya tidak benar. “Demokrasi bagi kita ialah musyawarah,” kata Sukarno, presiden pertama RI, ketika menyampaikan pidato berjudul, "Negara Nasional dan Cita-Cita Islam," di Universitas Indonesia, di Jakarta 7 Mei 1953.

Namun demikian, tak sedikit pandangan kritis yang memandang bahwa syura bukanlah demokrasi. Abdul Qadim Zallum (1990), misalnya, menegaskan, ”Demokrasi bukanlah syura, karena syura adalah meminta pendapat (thalab ar-ra’y), sedangkan demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem [pemerintahan]...”

Tulisan ini bertujuan menjelaskan lebih lanjut bahwa syura (musyawarah) bukanlah demokrasi, dengan menguraikan dua hal utama, yaitu: (1) hakikat syura dan hal-hal yang berkaitan dengannya; (2) perbedaan fundamental antara syura dan demokrasi.

Tulisan ini menjelaskan lebih lanjut perbedaan syura dan demokrasi, dengan merujuk pada tiga kitab berikut: Asy-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah Juz I (Bab Asy-Syura hlm. 246-261), karya Taqiyuddin an-Nabhani (1994), Nizhâm al-Hukm fi Al-Islâm (Bab Majelis Ummat, hlm. 214-224) karya Abdul Qadim Zallum (2002), dan Ad-Dimuqrathiyah Nizhâm Kufr  karya Abdul Qadim Zallum (1990).

Mengkritisi Konsep Teo-Demokrasi

Makna Teo-Demokrasi

Konsep teo-demokrasi merupakan konsep sistem politik Islam yang digagas oleh Abul A’la al-Maududi (lahir 1903), ulama Pakistan yang mendirikan gerakan Islam Jamaat-e-Islami pada tahun 1940-an. Konsep itu dituangkan dalam bukunya yang terkenal, Al-Khilâfah wa al-Mulk (Khilafah dan Kekuasaan), yang terbit di Kuwait tahun 1978.
Seperti dapat diduga dari istilahnya, konsep teo-demokrasi adalah akomodasi ide teokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tak berarti al-Maududi menerima secara mutlak konsep teokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan: Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, karena praktik “kedaulatan rakyat” sering justru menjadi omong-kosong. Partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu, sedangkan kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa yang—sekalipun mengatasnamakan rakyat—sering malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988: 19-21).
Namun demikian, ada satu aspek demokrasi yang diterima al-Maududi, yakni bahwa kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum Mukmin. Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah yang—menurut al-Maududi— membedakan sistem Khilafah dengan sistem kerajaan. Dari sinilah al-Maududi lalu menyimpulkan, “Dan ini pulalah yang mengarahkan Khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat...” (Al-Maududi, 1988: 67).
Mengenai teokrasi, yang juga menjadi akar konsep teo-demokrasi, sebenarnya juga ditolak oleh al-Maududi, terutama teokrasi model Eropa pada Abad Pertengahan di mana penguasa (raja) mendominasi kekuasaan dan membuat hukum sendiri atas nama Tuhan (Amien Rais, 1988: 22). Meskipun demikian, ada anasir teokrasi yang diambil al-Maududi, yakni pengertian kedaulatan tertinggi ada di tangan Allah. Dengan demikian, menurut al-Maududi, rakyat mengakui kedaulatan tertingggi ada di tangan Allah, dan kemudian, dengan sukarela dan atas keinginan rakyat sendiri, menjadikan kekuasaannya dibatasi oleh batasan-batasan perundang-undangan Allah Swt. (Al-Maududi, 1988: 67).
Walhasil, secara esensial, konsep teo-demokrasi berarti bahwa Islam memberikan kekuasaan kepada rakyat, tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, teo-demokrasi adalah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan. Atau, seperti diistilahkan al-Maududi, a limited popular sovereignty under suzerainty of God (Amien Rais, 1988: 23-24). Dalam bukunya yang lain, yaitu Islamic Law and Constitution (1962: 138-139), al-Maududi menggunakan istilah divine democracy (demokrasi suci) atau popular vicegerency (kekuasaan suci yang bersifat kerakyatan) untuk menyebut konsep negara dalam Islam (Asshidiqie, 1995: 17).  

Demokrasi Sistem Kufur

Sejak masa Plato demokrasi sudah digugat. Dengan berbagai alasan berbagai pihak mempertanyakan apakah sistem demokrasi ini layak bagi manusia atau justru akan menghancurkan peradaban. Kritik terhadap demokrasi pun paling gencar dilakukan pemikir dan ulama muslim. Umat Islamlah yang paling terdepan mempertanyakan keabsahan sistem demokrasi ini.

Gugatan paling mendasar terhadap sistem ini adalah masalah kedaulatan (as siyadah) yang berkaitan dengan sumber hukum . Ada perbedaan yang mendasar antara sistem Islam yang secara mutlak menjadikan kedaulatan di tangan hukum syara' (as siyadah li asy-syar'i) dengan sistem demokrasi yang menetapkan kedaulatan ada di tangan rakyat (as siyadah li asy-sya'bi) .Dalam pandangan Islam satu-satunya yang menjadi sumber hukum (mashdarul hukmi) adalah Al Qur'an dan As Sunnah. Tidak boleh yang lain. Dalam Al Qur'an dengan tegas disebutkan inil hukmu illa lillah (QS Al An'an; 57) bahwa hak membuat hukum adalah semata-mata milik Allah SWT. Karena itu barang siapa yang bertahkim (berhukum) dengan apa-apa yang selain diturunkan Allah SWT , maka dia adalah kafir (lihat QS Al Maidah: 44)

Khilafah vs Demokrasi

Sejak keruntuhan Khilafah pada 28 Rajab 1342 H, 89 tahun lalu, bisa disebut hampir sebagian besar Dunia Islam mengadopsi sistem demokrasi. Harapannya, sistem demokrasi akan membuat Dunia Islam lebih baik, ternyata tidak. Dunia Islam tetap saja mengidap berbagai persoalan yang akut seperti kemiskinan, kebodohan, pembantaian dan konflik yang berkepanjangan.

Di sisi lain, arus besar untuk kembali ke sistem Khilafah semakin menguat. Ada pernyataan berulang: Demokrasi memang tidak sempurna, tetapi sampai saat ini merupakan sistem terbaik untuk melawan sistem totaliter. Muncul pula pertanyaan berulang: Kebaikan apa yang ditawarkan sistem Khilafah untuk menggantikan sistem demokrasi? Bisakah sistem Khilafah mewujudkan harapan-harapan manusia yang gagal diwujudkan demokrasi? Kita tentu menjawab dengan tegas: sistem Khilafah pasti mampu.

Pertama: menjamin kebenaran yang hakiki. Demokrasi telah gagal dalam hal ini. Klaim suara rakyat adalah suara Tuhan dan menganggap suara mayoritas rakyat adalah suara kebenaran tidak terbukti. Bagaimana suara mayoritas rakyat Amerika bagian utara yang melegalkan perbudakan pada abad ke-19 dianggap benar. Demikian juga, sulit diterima sebagai sebuah kebenaran ketika mayoritas wakil rakyat lewat proses demokrasi melegalkan penghinaan terhadap manusia apalagi manusia yang mulia seperti Rasululllah saw., perkawinan homoseksual dan lesbian. termasuk serangan terhadap Irak, Afganistan yang telah membunuh ratusan ribu orang yang dilegalkan lewat suara mayoritas rakyat.

Nasionalisme, Faktor Pemecah-belah Umat

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg5EJtfjnaL4udk1stzvL57QWmCpmQJGLd_gjAMNk7yP6GAe4idl3RP4mou2DvPw_8pZODcXIcWjoazPy5MqYGC0WXrVyHWx6jnYNUdFOk-aoMgmr2nDa2QfEszKcTMa8SBYsefWduZ7LP2/s200/masih+percaya+demokrasi.jpgMinoritas Muslim Rohingya di Myanmar dipaksa untuk berpindah keyakinan dan mengalami penyiksaan, dipaksa makan babi dan minum minuman keras, ada juga yang dibakar hidup-hidup dan tidak dibolehkan menggunakan ponsel. Nasib serupa dialami oleh minoritas Muslim Pattani di Thailand, minoritas Muslim Moro di Filipina dan minoritas Muslim Uighur di Cina. Lalu mengapa pemerintah Indonesia dan para penguasa negeri-negeri berpenduduk mayoritas Muslim lainnya diam membisu? Mengapa pula PBB dan lembaga internasional lainnya bersikap masa bodoh? Lantas akankah penderitaan minoritas Muslim ini berakhir? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan al-wa’ie Joko Prasetyo dengan Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia, Farid Wadjdi. Berikut petikannya.

Mengapa di daerah minoritas Muslim, umat Islam kerap ditindas?
Pertama: karena umat Islam tidak lagi memiliki Khilafah, payung politik secara internasional yang melindungi kaum Muslim sejak keruntuhan Khilafah pada 1924. Inilah yang menjadi pangkal utama dari berkembangnya atau meluasnya penindasan di negeri-negeri minoritas Muslim.
Kedua: karena dunia internasional tidak peduli. Berbeda dengan kasus-kasus tertentu yang berkaitan dengan kepentingan Barat, PBB dan lembaga-lembaga HAM akan sangat hirau. Namun, terkait nasib umat Islam minoritas seperti di Rohingya dan Mindanau, sangat jelas lembaga internasional tersebut tak peduli.

Mungkinkah karena selama ini umat Islam tidak bisa beradaptasi dengan mayoritas di negeri setempat?
Sebenarnya bukan masalah umat Islam tidak bisa beradaptasi, melainkan umat Islam itu adalah umat yang unik (mutamayyiz).

Unik bagaimana?
Mereka memiliki akidah berdasarkan prinsip tauhid; memilik aturan hidup (syariah) yang berdasarkan wahyu Allah SWT.

Ramadhan Sepanjang Tahun



Alhamdulillah  sebulan penuh kita melewati Ramadhan dengan memperbanyak amalan, baik yang wajib maupun yang sunnah dengan niat untuk meraih nilai ketakwaan.  Ramadhan adalah bulan penyucian diri dan momentum untuk menempa kualitas ketakwaan kita.  Lalu apakah setelah Ramadhan berlalu semangat membina diri luntur? Bagaimana supaya kita istiqamah memelihara semangat tersebut? Apa pula yang seharusnya dilakukan dalam keluarga?
 
Spirit Ramadhan
Ramadhan memang hanya datang satu kali dalam satu tahun.  Lamanya pun hanya satu bulan.  Bulan Ramadhan boleh saja berakhir ketika datang tanggal satu Syawal. Namun, semestinya amal-amal baik yang sudah biasa dilakukan pada bulan Ramadhan tidak lantas berhenti.  Ramadhan adalah bulan penyucian jiwa, bulan untuk menempa diri untuk meraih takwa.  Ibarat fase kepompong pada perkembangan seekor ulat menjadi kupu-kupu.  Ketika menjadi kepompong tampak diam, lemah dan tidak bergerak.  Tatkala masa kepompong selesai, maka segera akan keluar kupu-kupu nan cantik yang akan menarik hati siapapun yang melihatnya.  Artinya, apa yang dialami ulat semasa menjadi kepompong kadang tidak mengenakkan dan tidak menarik.  Hasilnya baru terlihat ketika sudah menjadi kupu-kupu.  Begitupun aktivitas Ramadhan, mungkin saja terasa berat dan banyak godaan.  Namun hakikatnya, di balik semua yang terasa berat itu ada keberkahan dan pahala yang tidak ternilai besarnya.  Mestinya bagi orang-orang yang berhasil melewati Ramadhan akan merasakan hasilnya  sampai kapan pun. Dia akan memperoleh energi baru untuk menjalani hari-hari selama 11 bulan ke depan.  Energi tersebut merupakan hasil tempaan amaliah Ramadhan yang dilaksanakan selama sebulan penuh.  Dengan kata lain, amalan-amalan Ramadhan akan terlihat hasilnya pasca Ramadhan sebagai wujud ketakwaan.

Minggu, 19 Agustus 2012

Mutiara Keteladanan Para Pejuang Khilafah

Sungguh dalam diri Nabi saw. dan para Sahabat terdapat samudera keteladanan. Cukuplah seorang Muslim membaca, merenungkan dan menghayati sirah Nabi saw. dan para Sahabat. Tentu membaca sirah Nabi saw. dan para Sahabat itu bukan hanya secara garis besar, selintas atau dalam aspek-aspek tertentu saja ataupun sebagai produk yang sudah jadi. Namun, hendaknya sirah itu dibaca dengan detil berikut dialog-dialog dan setting-nya, disertai dengan penghayatan sehingga seolah-olah kita menjadi bagian dan terlibat di dalamnya.

Namun, kadang-kadang terbersit anggapan, “Wajar saja, Nabi saw. kan langsung dibimbing wahyu. Pantas para Sahabat seperti itu, mereka kan langsung dididik oleh Rasul saw.”
Ada pula ungkapan, “Kita kan bukan Sahabat. Kondisi kita pun jauh beda dengan mereka.”
Mungkin pula ada pertanyaan, “Apa mungkin keteladanan Nabi saw. dan para Sahabat diaplikasikan saat ini? Apa iya ada sosok seperti Sahabat pada masa modern seperti sekarang?”
Untuk itulah tulisan ini secara singkat mengutip beberapa memoar tentang para pengemban dakwah syabab Hizb generasi awal. Harus diingat bahwa pemaparan ini bukan untuk berbangga-bangga dengan mereka atau

Selasa, 14 Agustus 2012

Renungan Akhir Ramadhan: Kokohkan Iman, Tegakkan Syariah dan Khilafah


[Al Islam 619] Segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah memberi kita kesempatan menikmati keberkahan bulan Ramadhan dan menyampaikan kita ke sepuluh hari terakhirnya. Semoga Allah SWT izinkan kita menyempurnakan Ramadhan ini dengan shaum dan segenap amalan ibadah dan ketaatan di dalamnya serta meraih derajat takwa. Hingga tiba saatnya nanti gema takbîr, tahlîl, dan tahmîd kita kumandangkan sebagai wujud kesadaran kita bahwa kita adalah kecil dan hanya Dia yang Maha Agung, sebagai bukti ketundukan kita kepada-Nya bahwa tidak ada ilâh yang wajib disembah kecuali Dia, dan sebagai pernyataan syukur kita bahwa segenap kenikmatan yang kita rasakan hanyalah berasal dari-Nya.
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa(TQS. al-Baqarah [2]: 183).
Ayat tersebut menegaskan bahwa yang diseru untuk melaksanakan shaum adalah orang-orang beriman. Artinya, iman merupakan landasan dalam pelaksanaan shaum tersebut. Rasulullah Muhammad SAW juga bersabda:
«مَنْ صاَمَ رَمَضاَنَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»
Barangsiapa shaum bulan Ramadhan dengan iman dan semata mengharap ridha Allah maka ia diampuni dosanya yang telah lewat(HR. Bukhari dan Muslim).
Sabda Nabi ini menegaskan bahwa keimanan harus dijadikan landasan dalam menjalankan shaum Ramadhan. Jadi Ramadhan sejatinya adalah momentum untuk mengokohkan keimanan kita semua. Sehingga, seusai Ramadhan, kita sebagai umat Islam akan memiliki keimanan yang tangguh, dan merasakan betapa manisnya keimanan tersebut.
Sayang, sebagian kalangan umat terbaik (khairu ummah) ini belum merasakan kokoh dan manisnya iman. Buktinya, masih ada di antara umat Islam yang menolak penerapan syariat Islam