Total Tayangan Halaman

Jumat, 24 Agustus 2012

Demokrasi Sistem Kufur

Sejak masa Plato demokrasi sudah digugat. Dengan berbagai alasan berbagai pihak mempertanyakan apakah sistem demokrasi ini layak bagi manusia atau justru akan menghancurkan peradaban. Kritik terhadap demokrasi pun paling gencar dilakukan pemikir dan ulama muslim. Umat Islamlah yang paling terdepan mempertanyakan keabsahan sistem demokrasi ini.

Gugatan paling mendasar terhadap sistem ini adalah masalah kedaulatan (as siyadah) yang berkaitan dengan sumber hukum . Ada perbedaan yang mendasar antara sistem Islam yang secara mutlak menjadikan kedaulatan di tangan hukum syara' (as siyadah li asy-syar'i) dengan sistem demokrasi yang menetapkan kedaulatan ada di tangan rakyat (as siyadah li asy-sya'bi) .Dalam pandangan Islam satu-satunya yang menjadi sumber hukum (mashdarul hukmi) adalah Al Qur'an dan As Sunnah. Tidak boleh yang lain. Dalam Al Qur'an dengan tegas disebutkan inil hukmu illa lillah (QS Al An'an; 57) bahwa hak membuat hukum adalah semata-mata milik Allah SWT. Karena itu barang siapa yang bertahkim (berhukum) dengan apa-apa yang selain diturunkan Allah SWT , maka dia adalah kafir (lihat QS Al Maidah: 44)

Sementara dalam sistem demokrasi yang benar dan salah bukan ditentukan berdasarkan syariah Islam tapi berdasarkan hawa nafsu manusia atas nama suara mayoritas. Prinsip suara mayoritas (kedaulatan di tangan rakyat) ini adalah prinsip pokok dalam demokrasi. Tidak ada demokrasi kalau tidak mengakui prinsip kedaulatan ditangan rakyat ini.

Menjadikan sumber hukum yang menentukan benar dan salah berdasarkan hawa nafsu atas nama suara mayoritas ini jelas adalah bentuk kekufuran yang nyata. Demokrasi sesunguhnya telah merampas Hak Mutlak Allah sebagai sumber hukum dan menyerahkannya kepada manusia. Jelas ini adalah kekufuran yang nyata.

Inilah yang diingatkan Allah swt kepada kita di dalam Al Qur'an, tragedi yang menimpa orang-orang Nashrani, mereka menjadikan orang-orang terhormat mereka, orang-orang alim, para pendeta, pemuka agama sebagai Tuhan baru. Bagaimana mungkin para rahib dan pendeta itu dijadikan Tuhan ?

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa meriwayatkan 'Adi bin Hatim pernah datang ke hadapan Rasulullah saw. Beliau kemudian membaca ayat (QS at-Taubah [9]: 31). 'Adi bin Hatim berkata, “Mereka tidaklah menyembah para pembesar dan para pendeta mereka.” Akan tetapi, Rasulullah saw. berkata, “Benar. Akan tetapi, mereka (para pembesar dan para pendeta itu) mengharamkan atas mereka sesuatu yang halal dan menghalalkan yang haram untuk mereka, lalu mereka mengikuti para pembesar dan para pendeta itu. Itulah bukti penyembahan mereka kepada para pembesar dan para pendeta itu.” Demikian sebagaimana dituturkan oleh Muslim dan at-Turmudzi.

Dengan demikian, pemberian hak menghalalkan dan mengharamkan (hak menentukan hukum) serta hak ketaatan kepada seseorang pada hakikatnya sama dengan penyembahan kepada orang itu. Jelas ini adalah kekufuran yang nyata. Demokrasi telah menjadi Tuhan Baru, ini adalah musibah..

Tidak hanya itu demokrasi digugat karena gagal menunaikan janji-janjinya. Kesejahteraan yang dijanjikan demokrasi tidak terbukti. Dunia yang dipimpin oleh negara demokrasi terbesar Amerika Serikat sekarang ini terjerumus kedalam kemiskinan global yang mengerikan. Bahkan sang tuan Amerika Serikat terancam dalam depresi ekonomi yang mengerikan.

Demokrasi justru telah memberikan legitimasi hukum untuk memiskinkan dunia ketiga. Lewat cara yang demokratis muncullah produk-produk hukum yang memuluskan penjajahan dan perampasan kekayaan alam dunia ketiga. Indonesia merupakan contoh tentang masalah ini. Pasca reformasi dengan cara demokratis lahir pro Liberal seperti UU Migas, UU Penanaman Modal , UU SDA (Sumber Daya Alam) yang semuanya justru mengokohkan ekploitasi negara-negara imprialism yang berimplikasi kepada penderitaan masyarakat.

Janji stabilitas demokrasi pun tidak terbukti. Di beberapa negara demokrasi justru telah mengantar rezim diktator seperti Hitler di Jerman dan Mussolina di Italia. Demokrasi juga telah menjadi alat ampuh munculnya pemerintah boneka pro Barat seperti yang terjadi di Afghanistan dan Irak saat ini . Pemerintah boneka yang diktator ini justru menjadi alat Barat untuk mengokohkan penjajahan dan pembunuhan terhadap rakyat.

Di Indonesia sorak-sorai demokrasi telah menimbulkan pertentangan antar elit maupun secara horizontal antar rakyat yang tidak berkesudahan. Pertikaian menjelang pilkada maupun pasca pilkada telah menumpahkan banyak darah dan luka. Tidak hanya itu atas nama demokrasi Timor Timur melepaskan diri dari Indonesia. Kemungkinan kuat menyusul dengan alasan yang sama -kalau tidak dicegah sejak dini- adalah Aceh dan Papua. Demokrasi menjadi pintu disintegrasi.

Atas nama demokrasi kemaksiatan pun menjadi subur. Prinsip demokrasi yang memutlakan pengakuan terhadap liberalisme dan HAM telah menjadi pintu kerusakan moral atas nama kebebasan. Atas nama HAM pelaku kejahatan perzinahan dan homoseksual dan pelaku pornografi dan pornoaksi minta diakui eksistensinya. Muncul pula UU yang sarat dengan liberalisme yang mengokohkan kemaksiatan ini.

Tidaklah berlebihan kalau kita mengatakan ada dua bahaya mendasar demokrasi . Pertama, demokrasi telah menjadi 'tuhan baru' yang menjerumuskan umat Islam pada kekufuran . Yang kedua demokrasi telah menjadi alat penjajahan untuk menghancurkan umat Islam baik secara ekonomi , politik, maupun sosial.

Tidak heran kalau Bush mengatakan selama menyebarnya liberalisme dan demokrasi adalah perkara penting bagi kepentingan (penjajahan ) negara itu. Pidato Bush : “ Jika kita mau melindungi negara kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi”. Walhasil demokrasi adalah sistem kufur , haram mengambilnya, menerapkannya dan menyebarluaskannya. www.mediaumat.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar