JAKARTA
(VoA-Islam) – Daripada
bergelimang ketidakpastian dan dosa, mengapa pemerintah dan DPR tidak
mengajukan saja “RUU Keluarga Sakinah” yang jelas-jelas mengacu kepada
nilai-nilai Islam? Buat apa RUU Gender diajukan dan dibahas? RUU Kesetaraan
Gender hanya akan membesar-besarkan masalah, dan lebih menambah masalah baru.
Belum lagi jika RUU ini melanggar aturan Allah Swt, pasti akan mendatangkan
kemurkaan Allah.
Demikian dikatakan
Adian Husaini dalam makalahnya saat Tabligh Akbar “Menolak RUU Gender Liberal”
di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta, Ahad (8/4) lalu.
Jika RUU Gender
ini menjadi UU dan memiliki kekuatan hukum yang tetap, maka akan menimbulkan
penindasan yang sangat kejam kepada umat Islam – atau agama lain—yang
menjalankan konsep agamanya, yang kebetulan berbeda dengan konsep Kesetaraan
Gender.
Salah satu alasan
kenapa umat Islam harus menolak RUU Kesetaraan Gender adalah RUU ini sangat western-oriented(Orientasi Barat). Para pegiat kesetaraan
gender yang diusung kaum liberal ini berpikir, bahwa apa yang mereka terima dari
Barat, termasuk konsep gender WHO dan UNDP, harus ditelan begitu saja, karena
bersifat universal.
“Mereka kurang
kritis dalam melihat fakta sejarah perempuan di Barat dan lahirnya gerakan
feminisme serta kesetaraan gender yang berakar pada “trauma sejarah” penindasan
perempuan di era Yunani Kuno dan era dominasi Kristen abad pertengahan,”
tulisWakil Ketua MIUMI, Adian Husaini dalam makalahnya yang berjudul ‘Mengapa
Kita Menolak RUU Kesetaraan Gender’.
Bukalah mata
lebar-lebar, betapa konsep-konsep kehidupan di Barat cenderung bersifat
ekstrim. Dulu, Barat menindas perempuan sebebas-bebasnya. Sekarang, mereka
membebaskan perempuan sebebas-bebasnya. Dulu, Barat menerapkan hukuman gergaji
hidup-hidup bagi pelaku homoseksual. Kini, mereka berikan hak seluas-luasnya
bagi kaum homo dan lesbi untuk menikah, bahkan memimpin gereja.
Kata Adian,
lihatlah kini konsep keluarga ala kesetaraan gender yang memberikan kebebasan
dan kesetaraan secara total, antara laki-laki dan perempuan telah berujung
kepada problematika social yang sangat pelik. Di Jerman, tahun 2004, sebuah
survei menunjukkan, pertumbuhan penduduknya minus 1,9. Jadi, bayi yang lahir
lebih sedikit daripada jumlah yang mati.
Peradaban Barat
memandang perempuan sebagai makluk individual. Sementara Islam meletakkan
perempuan sebagai bagian dari keluarga. Karena itulah, dalam Islam ada konsep
perwalian. Saat menikah, wali si perempuan yang menikahkan; bukan perempuan
yang menikahkan dirinya sendiri. Ini satu bentuk penyerahan tanggungjawab
kepada suami.
Di Barat, konsep
semacam ini tidak dikenal. Karena itu janga heran, jika para pegiat gender
biasanya sangat aktif menyoal konsep perwalian ini. Sampai-sampai ada yang
menyatakan bahwa dalam pernikahan Islam, yang menikah adalah antara laki-laki
(wali) dengan laki-laki (mempelai laki-laki).
RUU Sekuler
Adapun RUU Gender
cenderung sangat sekuler. RUU ini membuang dimensi akhirat dan dimensi ibadah
dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan. Peradaban sekuler tidak
memiliki konsep tanggungjawab akhirat. Dimensi “akhirat” inilah yang hilang
dalam berbagai pemikiran tentang gender.
Tak dipungkiri,
penyebaran paham “kesetaraan gender” saat ini telah menjadi program unggulan
dalam proyek liberalisasi Islam di Indonesia. Banyak organisasi Islam yang
memanfaatkan dana-dana bantuan sejumlah LSM Barat untuk menggarap
perempuan-perempuan muslimah agar memiliki paham kesetaraan gender ini.
Perempuan muslimah
kini didorong untuk berebut dengan laki-laki di lahan publik, dalam semua
bidang. Mereka diberikan angan-angan kosong, seolah-olah mereka akan bahagia
jika mampu bersaing dengan laki-laki.
Ke depan, tuntutan
semacam ini mungkin akan terus bertambah, di berbagai bidang kehidupan. Sesuai
dengan tuntutan pelaksanaan konsep Human Development Index (HDI), wanita dituntut berperan aktif dalam
pembangunan, dengan cara terjun ke berbagai sector publik.
Seorang wanita
yang tekun dan serius menjalankan kegiatannya sebagai ibu rumah tangga,
mendidik anak-anaknya dengan baik, tidak dimasukkan ke dalam kategori
‘berpartisipasi dalam pembangunan’. Tentu konsep ini sangat aneh dalam
perspektif Islam dan nilai-nilai tradisi yang sudah dipengaruhi Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar