Pengantar
Pembahasan
akal, metode berpikir, dan proses berpikir sangat penting untuk diketahui oleh
setiap muslim. Mengapa? Sebab, Allah telah menempatkan manusia sebagai makhluk
yang mulia dibandingkan makhluk Allah yang lain. Allah berfirman,
“sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At Tiin: 4)
“Dia (iblis) berkata:
"Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku?
Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya
benar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebagian kecil.”
(QS. Al Isra’: 62)
Pembahasan
akal, juga sangat relevan dengan proses keimanan seseorang bahwa akal merupakan
modal untuk meraih keimanan sejati, bukan keimanan yang rapuh. Allah berfirman,
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal,” (QS. Ali Imran: 190)
Pembahasan
tentang hakikat akal, metode berpikir, dan proses berpikir juga sangat penting
untuk mengkonter setiap usaha-usaha untuk mengaburkan keimanan seorang muslim
layaknya ilmu kalam dan filsafat yang telah membuat kaum muslim jauh tersesat.
Fakta sejarah ilmu kalam telah menunjukkan kenyataan bahwa akal yang menjadi
asas dalam meraih keimanan telah ditempatkan tidak pada tempatnya (tidak sesuai
proporsi yang benar). Sehingga mengakibatkan kegoncangan luar biasa dalam tubuh
kaum muslimin sendiri. Oleh karena itu, dengan mengetahui akal, metode
berpikir, dan hakikat berpikir, insya Allah kita akan memiliki keimanan yang
mantap, memuaskan akal, dan menentramkan hati.
Antara
Otak dan Akal
Kita
sering sekali mendengar pernyataan bahwa yang dimaksud dengan akal adalah otak.
Otak yang berwarna putih di dalam kepala kita, itulah yang disebut dengan akal.
Mereka mengatakan akal adalah bagian terpenting seseorang dalam berpikir, sehingga
orang yang melakukan suatu perbuatan tanpa melalui proses berpikir dikatakan
‘tidak punya otak’. Benarkah demikian?
Contoh:
Ada seseorang yang akan merampok sebuah bank. Perampok itu datang tiba-tiba,
sendirian, tanpa penutup wajah, tanpa senjata, tidak bisa bela diri, dan itu
dilakukan pada siang hari. Dia hanya membentak-bentak teller bank agar
menyerahkan uang yang ada di bank tersebut. Apa yang terjadi? Seketika sekuriti
bank tersebut menangkapnya dan memukulinya. Apa pandangan Anda terhadap si
perampok tersebut. Pasti Anda akan mengatakan bahwa perampok itu ‘tidak punya
otak’. Sebab, dia telah bertindak bodoh dan ceroboh sekali. Tetapi benarkah dia
tidak punya otak?
Ternyata
tidak. Perampok itu tetap saja punya otak, sekalipun dia bertindak bodoh.
Kata-kata tersebut seringkali muncul dikarenakan, sejak awal kita sudah
ditanamkan asumsi bahwa yang dimaksud dengan akal, tidak lain adalah sebuah
organ di dalam kepala manusia.
Otak,
berbeda dengan akal. Akal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk Allah
yang lain. Buktinya, binatang juga mempunyai otak. Tetapi binatang tidak bisa
berpikir. Anak kecil, juga memiliki otak. Akan tetapi juga belum bisa berpikir
secara sempurna. Demikian pula orang gila. Dia tidak bisa berpikir, sekalipun
orang gila tersebut memiliki otak.
Otak
manusia, terdapat di dalam kepala manusia. Otak manusia adalah struktur pusat
pengaturan yang memiliki volume sekitar 1.350 cc dan terdiri atas 100 juta sel
saraf atau neuron. Sel saraf ini kemudian dihubungkan ke indera dan bagian
tubuh manusia yang lainnya. Menurut penelitian (eksperimen), otak berperan
dalam proses berpikir. Bahkan dapat disimpulkan bahwa otak manusia dapat
menyimpan 90 juta informasi. Inilah realitas otak manusia.
Sedangkan
hati merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh, terletak dalam rongga perut
sebelah kanan, tepatnya di bawah diafragma. Berdasarkan fungsinya, hati juga
termasuk sebagai alat ekskresi. Hal ini dikarenakan hati membantu fungsi ginjal
dengan cara memecah beberapa senyawa yang bersifat racun dan menghasilkan
amonia, urea, dan asam urat dengan memanfaatkan nitrogen dari asam amino.
Proses pemecahan senyawa racun oleh hati disebut proses detoksifikasi.
Ini
artinya, otak dan hati, merupakan organ tubuh manusia. Oleh karena itu, tidak
tepat jika menyatakan akal atau hati itu letaknya ada di dada atau kepala
manusia. Jika bisa diterima, maka hal ini juga pasti berlaku untuk orang yang
gila atau pada binatang. Faktanya, orang yang gila, sekalipun di kepalanya ada
otak dan di dadanya ada hati, tetapi tetap saja tidak bisa berpikir dan
merasakan. Demikian pula binatang. Hampir semua binatang memiliki otak dan
hati. Tetapi semua itu tidak berlaku. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Sebab,
orang yang gila dan binatang, otaknya tidak memiliki khasiyyat (potensi) untuk mengasosiasikan
(mengaitkan) antara objek yang diinderanya dengan informasi yang didapatnya.
Jika orang gila, mungkin dengan sisa-sisa informasi yang dimilikinya, masih
dapat menghasilkan ‘sedikit’ pemikiran. Tetapi bagi binatang tidak. Binatang
hanya mampu melakukan istirja’ul ihsas atau penginderaan berulang-ulang atas
objek yang ada.
Otak
Hewan dan Otak Manusia
Otak
hewan atau otak orang gila, tidak memiliki fungsi atau potensi (khasiyyat) untuk
mengaitkan objek yang sedang diindera dengan informasi awal yang ada. Karena
itu, hewan tidak akan bisa diajari tata krama dan sopan-santun. Padahal hewan
memiliki otak di dalam kepalanya, bisa menerima informasi, dan diberi objek
untuk diindera. Tetapi sekali lagi, hewan tidak bisa menghasilkan pemikiran apa
pun. Akibatnya, setiap informasi yang diberikannya, tidak akan menjadi memori
dan akan hilang begitu saja, kecuali jika informasi itu diberikan secara
berulang-ulang.
Tetapi
kemudian ada yang coba membantah, buktinya banyak binatang yang ‘cerdas’ atau
‘pintar’ setelah dididik oleh seseorang. Kita sering menjumpai hal ini dalam
pertunjukan sirkus, bagaimana seekor gajah bisa bermain bola, seekor singa bisa
duduk, seekor lumba-lumba bisa ‘mencium’ manusia, dan lain-lain.
Berkaitan
dengan hal tersebut, sesungguhnya itu semua bukanlah diperoleh melalui proses
berpikir. Itu semua terjadi karena adanya istirja’ul ihsas atau kemampuan mengingat kembali apa
yang telah diinderanya. Binatang bisa mengingat kembali apa yang diinderanya,
itu karena binatang tersebut melakukan penginderaan yang berulang-ulang pada
objek yang sama. Kemampuan mengingat kembali (istirja’ul ihsas) ini, dilakukan binatang
secara alamiah. Khususnya terdapat pada hal-hal yang berkaitan dengan naluri
(misalnya naluri seksual) dan kebutuhan fisik (misalnya makan). Tidak berkaitan
dengan perkara-perkara di luar dua hal ini.
Contoh:
seekor lumba-lumba ‘dididik’ agar mau mencium pipi seseorang. Lumba-lumba itu
tidak akan mau mencium pipi seseorang jika tidak Anda berikan makanan terlebih
dahulu. Coba, Anda beri makan lumba-lumba itu kemudian Anda suruh dia mencium
pipi Anda. Pasti lumba-lumba itu akan langsung mencium Anda. Jika hal ini Anda
lakukan terus berulang-ulang, maka setiap kali Anda memberikan makan, maka dia
akan mencium Anda atau melakukan hal yang lain, yang sudah Anda latihkan.
Contoh
lain: Anda membunyikan lonceng untuk memanggil kucing Anda agar mereka makan.
Maka jika hal ini Anda lakukan secara berulang-berulang, kucing Anda akan
datang setiap kali Anda membunyikan lonceng. Tetapi coba, Anda ubah sedikit
informasi yang Anda berikan. Misalnya, setiap Anda membunyikan lonceng, kucing
Anda datang, kemudian Anda pukul. Jika perbuatan ini Anda lakukan
berulang-ulang, maka suatu saat informasi pertama akan hilang dan beralih pada
informasi yang kedua.
Ini
berbeda dengan otak manusia yang memang memiliki potensi untuk mengaitkan
dengan informasi yang didapat. Contoh: Ada seseorang yang bernama Agus melihat
orang yang bernama Trisa di kota Solo. Ketika lebaran tiba, Agus dan Trisa
sama-sama mudik ke Surabaya. Mereka bertemu. Agus pasti akan bisa mengingat
akan Trisa. Tetapi sekedar mengingat saja. Sebab, Agus tidak memiliki informasi
apa pun tentang Trisa. Tetapi jika Agus memiliki informasi tentang Trisa; dimana
rumahnya, apa pekerjaannya, siapa saja keluarganya, bagaimana perilakunya, dan
lain-lain, maka Agus pasti akan bisa mengambil suatu kesimpulan tentang Trisa.
Contoh
lain: Gambar kucing di dalam televisi yang dilihat tikus dan manusia. Ketika
manusia melihat gambar kucing di televisi, manusia tidak akan bereaksi apa-apa
atau biasa-biasa saja. Sekalipu kucing itu juga mengeluarkan suara. Tetapi,
jika ada tikus yang lewat, kemudian melihat gambar kucing di televisi tersebut,
tentu tikus itu akan lari. Apalagi jika disertai dengan suara kucingnya.
Ini
menunjukkan bahwa tikus tidak memiliki akal, sekalipun dia memiliki indera,
otak, dan dihadapkan pada sebuah objek. Tikus hanya bisa menginderanya saja,
bukan memikirkan. Penginderaan atas apa? Atas lawannya, yaitu kucing.
Penginderaan yang berulang-ulang, telah menyisakan memori bahwa kucing
merupakan musuhnya (tikus).
Hal di
atas menunjukkan bahwa apa yang dihasilkan binatang dengan manusia itu berbeda.
Binatang bisa mengambil keputusan, karena proses penginderaan. Tetapi, manusia
bisa menghasilkan keputusan, itu karena manusia mempunyai potensi untuk
mengaitkan informasi dengan objek yang diinderanya.
Hakikat
Proses Berpikir
Dengan
melihat berbagai gambaran di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa ada empat hal
yang dapat membangkitkan akal untuk berpikir, yaitu otak yang sehat, indera
yang sehat, objek yang diindera, dan informasi awal. Menurut Syaikh Taqiyuddin
An Nabhani, ini sangat bersesuaian dengan ayat berikut,
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah
di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui.’ Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman:
"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar
orang-orang yang benar! Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang
kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah
berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda
ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu,
Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya
Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan
dan apa yang kamu sembunyikan?" (QS. Al Baqarah: 30-33)
Brdasarkan
ayat tersebut, kita memahami bahwa sebelum objek yang diindera disodorkan pada
manusia pertama (Adam), harus ada informasi awal terlebih dahulu. Allah
berfirman,
“…Dan Dia mengajarkan kepada Adam
nama-nama (benda-benda) seluruhnya…” (QS. Al Baqarah: 31)
Hal ini
membuktikan bahwa Allah telah memberikan informasi awal (maklumat sabiqah) kepada
Adam. Mengapa? Ya tentu saja, sebab bagaimana mungkin Adam dapat menyebutkan
nama-nama benda sedangkan dia belum mendapatkan informasi apa-apa tentang objek
yang diinderanya? Ini menunjukkan bahwa Adam memang diberikan informasi awal
tentang benda-benda yang diinderanya. Kemudian Adam pun bisa menyebutkannya,
ketika Allah memerintahkannya.
“….Hai Adam, beritahukanlah kepada
mereka nama-nama benda ini…” (QS. Al Baqarah: 33)
Jadi,
inilah fakta dari proses berpikir itu. Memang demikianlah adanya. Tanpa adanya
keempat unsur di atas, kita tidak akan mungkin bisa melalui proses berpikir.
Proses berpikir seperti ini disebut dengan proses berpikir rasional. Mengapa
disebut proses berpikir rasional? Sebab, proses ini hanya akan terjadi pada
hal-hal yang bisa diindera, atau objek yang tidak dapat diindera tetapi
akibatnya (pengaruhnya) bisa diindera. Demikia pula sebaliknya, orang yang
berpikir akan sesuatu yang tidak ada wujudnya (tidak ada objeknya), maka proses
berpikir seperti ini disebut dengan proses berpikir irrasional (tidak masuk
akal).
Metode
Berpikir Rasional
Apa itu
metode berpikir? Metode berpkir adalah cara yang digunakan akal untuk
menghasilkan sebuah keputusan atau kesimpulan (kongklusi). Jika kita merujuk
pada definisi proses berpikir di atas, jelas bahwa metode berpikir yang paling
benar dan keputusan atau kesimpulan yang benar hanyalah dengan metode berpikir
rasional. Sedangkan metode berpikir irrasional, akan menghasilkan sesuatu yang
(bisa) benar tetapi juga bisa salah.
Apalagi
dalam hal keyakinan (akidah), jelas sekali bahwa akidah harus selalu benar dan
tidak ada salah atau keraguan sedikit pun. Pertanyaannya adalah: bagaimana jika
Anda memiliki keyakinan, tetapi masih bisa menimbulkan perdebatan? Atau,
bagaimana mungkin Anda punya keyakinan, tetapi menyisakan keraguan?
Misalnya,
jika kita ditanya: Apakah Anda pernah ke Amerika? Jawab kita mungkin: belum.
Lalu kita ditanya lagi: Apakah Anda percaya di Amerika itu ada patung Liberty?
Jawab kita: percaya. Kemudian, kita ditanya lagi: Apakah Anda yakin? Lalu kita
jawab: Yakin. Lalu dilanjutkan dengan pertanyaan: Bagaimana Anda yakin,
sedangkan Anda belum pernah melihatnya secara langsung dengan mata Anda
sendiri? Mungkin Anda akan kebingungan untuk menjawab. Paling-paling jawabannya
adalah: dari televisi, koran, internet, dan lain sebagainya.
Atau
pertanyaan lainnya: Apakah Anda yakin akan keberadaan Allah Sang Maha Pencipta?
Mengapa Anda begitu yakin bahwa Allah Al Khaliq (Maha Pencipta) itu benar-benar
ada? Atas dasar apa keyakinan Anda? Bagaimana mungkin Anda yakin, padahal Anda
tidak melihat-Nya secara langsung dengan mata kepala sendiri? Jika pertanyaan
ini terus dikejar, kemungkinan tidak akan ada habisnya.
Metode
rasional adalah metode (manhaj)
tertentu yang ditempuh untuk mengetahui realitas sesuatu yang dikaji, dengan
jalan memindahkan penginderaan terhadap fakta melalui panca indera ke dalam
otak, disertai dengan adanya sejumlah informasi terdahulu yang akan digunakan
untuk menafsirkan fakta tersebut. Selanjutnya, otak akan memberikan penilaian
terhadap fakta tersebut.
Jika
metode rasional ditempuh dengan benar, maka otak akan memberikan penilaian atas
fakta (objek) yang sedang diindera tersebut. Jika ini digunakan dengan benar,
maka kesimpulannya juga akan benar. Tetapi, kesimpulan yang yang didapat oleh
seseorang, harus dikaji terlebih dahulu. Jika kesimpulan ini merupakan
penilaian atas keberadaan (eksistensi) sesuatu, maka kesimpulan tersebut adalah
kesimpulan yang bersifat pasti, yang tidak mungkin mengandung kesalahan. Ini
karena penginderaan tersebut berdasarkan penginderaan terhadap fakta (objek),
sedangkan penginderaan atas keberadaan fakta (objek, realitas) tidak mungkin
salah.
Contoh:
Suatu ketika Anda pulang dari kampus atau kantor, kemudian mendapati
jalan-jalan di sekitar rumah Anda basah dan terdapat air menggenang, air
selokan mengalir deras, pohon-pohon basah, rumah-rumah tetangga juga basah. Apa
kesimpulan Anda? Pasti habis ada hujan. Sekali pun Anda tidak melihat hujannya,
tetapi dengan melihat pengaruh atau akibat yang ditimbulkan, Anda sudah pasti
berkeyakinan bahwa hujan telah turun. Kesimpulan Anda ini bersifat pasti benar,
dan tidak mungkin mengandung kesalahan.
Inilah
fakta dari proses berpikir itu:
1) Ada
objek yang diindera: yaitu pepohonan basah, jalan-jalan basah, rumah penduduk
basah, dan sebagainya.
2) Ada
akal yang sehat: yaitu akal Anda yang memang sehat
3) Ada
indera yang sehat: yaitu Anda bisa melihat berbagai efeknya dengan mata Anda
sendiri
4) Ada
informasi awal: yaitu sejak awal Anda sudah memiliki informasi bahwa ketika
hujan turun maka lingkungan akan basah
Kesimpulannya:
Hujan habis turun.
Tetapi
jika kesimpulan tersebut merupakan penilaian atas realitas sesuatu, atau sifat
sesuatu, maka kesimpulaan itu bersifat dugaan (zhanni) yang masih mungkin mengandung
kesalahan. Penilaian ini diperoleh melalui berbagai informasi atau analisis
terhadap fakta yang diindera. Hal ini masih mungkin menjadi kesalahan. Akan
tetapi, kesimpulan yang ada tetap merupakan pemikiran yang tepat hingga terbukti
kesalahannya. Penilaian itu akan dikatakan salah, ketika terbukti salah. Jika
tidak terbukti, maka penilaian itu menjadi benar adanya.
Misalnya:
Kedatangan Obama ke Indonesia, apakah akan menjajah atau menjalin kerja sama
mutualisme (saling menguntungkan). Analisis pun berkembang. Analisis ini
berdasarkan pada informasi yang dimiliki oleh para penganalisis. Ada
penganalisis yang menyatakan bahwa Obama datang memang untuk menjalin kerja
sama yang baik. Tetapi analisis yang lain menyatakan bahwa Obama datang ke
Indonesia untuk menjajah dan merampok kekayaan alam.
Dari
kedua jenis analisis tentang Obama, mana yang lebih kuat argumennya, maka harus
dikembalikan kepada informasi-informasi yang dimiliki. Masing-masing analisis
harus beradu argumen tentang berbagai informasi yang dimiliki. Kemudian,
analisis yang paling tepat adalah analisis yang lebih kuat informasinya.
Misalnya, analisisyang mengatakan bahwa Obama datang ke Indonesia adalah untuk
menjajah adalah argumen yang menang. Tetapi argumen ini pun, masih memiliki
kemungkinan salah, sampai ditemukan bukti-bukti bahwa Obama memang benar-benar
menjajah.
Contoh
lain:
Misalnya
hukum menerima Obama ke Indonesia. Ada dua pendapat, ada yang menghalalkan, ada
pula yang mengharamkan. Pihak yang menghalalkan mendasarkan pada salah satu
argumen dari hadis “Barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia menyambung
tali persahabatan; dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka
hendaklah ia berkata yang baik-baik saja atau hendaklah dia diam saja.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Sedangkan
orang yang mengharamkan menerima kedatangan Obama mendasarkan argumennya pada
salah satu dalil, yaitu “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu
orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya
(menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu.
Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati
mereka lebih besar lagi.” (QS. Ali Imran: 118)
Kedua
analisis hukum tersebut harus didiskusikan hingga ditemukan argumen (hujjah)
terkuat. Hujjan atau argumen itu akan tetap dinilai benar, selama tidak ada fakta
yang menunjukkan kesalahannya. Misalnya, dalil yang mengharamkan lebih kuat
daripada dalil yang menghalalkan. Maka hukum syara’ dari keharaman itu akan
tetap berlaku, sampai terbukti kesalahannya. Misalnya, ternyata Obama datang ke
Indonesia bukan untuk menjajah tetapi untuk memuliakan orang Indonesia. Ini
misalkan saja.
Jadi,
dalam aspek hukum, juga tidak perlu menghasilkan sesuatu yang qath’i.
Cukup dengan dugaan saja.
Metode
Berpikir Ilmiah dan Logika (Mantiq)
Metode
berpikir ilmiah adalah cara menghasilkan pemikiran dengan melalui penelitian
dan percobaan (eksperiman) terhadap objek yang diindera. Metode berpikir ilmiah
hanya bisa digunakan pada objek-objek yang bisa diindera yang bersifat
kebendaan/material (fisik), yaitu berpikir tentang hal-hal yang berbau fisika
atau kimia. Misalnya, berpikir tentang zat-zat kimiawi, zat-zat gizi dalam
makanan, observasi iklim, cuaca, dan sebagainya. Jadi, yang dibahas dalam
metode berpikir ilmiah adalah hal-hal yang sifatnya materi bukan pemikiran.
Hasil dari
metode berpikir ilmiah, tidak bersifat pasti. Hasilnya hanya bersifat dugaan
saja. Anda bisa melihat, dulu pernah dilakukan eksperimen, kemudian ditemukan
kesimpulan bahwa benda terkecil adalah molekul. Tetapi pada masa berikutnya,
ditemukan penelitian lagi dan ditemukan bahwa benda terkecil adalah atom,
bukannya molekul. Ini menunjukkan bahwa kesimpulannya tidak bisa dikatakan
pasti atau mutlak benar, sebab masih ada kemungkinan lain selama masih
diadakannya eksperimen.
Contoh
lain: Pluto, dulu dikatakan sebagai planet sejak 1930. Tetapi kemudian dengan
peralatan yang lebih canggih, dilakukan penelitian (eksperimen) dengan metode
ilmiah, hingga akhirnya para ahli sepakat bahwa Pluto bukanlah termasuk dalam
kategori planet. Hal ini ditetapkan sejak tahun 2006. Ini menunjukkan bahwa
hasil dari metode berpikir ilmiah, hasilnya berupa dugaan. Artinya, dulu para
ahli menduga-duga, bahwa Pluto adalah planet. Tetapi kemudian tidak dikatakan
planet setelah adanya eksperimen yang lain.
Sedangkan
logika adalah metode berpikir dengan mengaitkan unsur-unsur pembentuk
kesimpulan. Unsur-unsur ini disebut dengan premis. Pemikiran ini muncul di
Yunani yang oleh para filosof, khususnya Aristoteles. Metode berpikir ini tidak
dibenarkan jika digunakan untuk membangun keyakinan.
Contoh:
premis pertama mengatakan, bahwa pensil itu terbuat dari kayu. Premis kedua
menyatakan bahwa kayu bisa terbakar. Kesimpulannya adalah bahwa pensil bisa
terbakar. Ini benar.
Tetapi
coba lihat contoh berikut ini. Alquran diturunkan dalam bahasa Arab. Bahasa
Arab adalah sesuatu yang baru (muhdats). Padahal, sesuatu yang baru adalah
makhluk. Kesimpulannya, Alquran adalah makhluk. Ini salah. Ini tidak benar.
Jadi,
logika memang tidak boleh dijadikan sebagai metode berpikir. Apalagi dalam hal
akidah. Akidah (keyakinan) harus diraih melalui metode berpikir rasional, bukan
logika atau metode ilmiah.
Sebenarnya,
metode berpikir itu hanya ada satu, yaitu metode berpikir rasional. Sedangkan
logika atau ilmiah, hanya salah satu cara berpikir saja. Tetapi kebanyakan
orang menganggapnya sebagai metode berpikir.
Objek
Pemikiran
Objek
pemikiran, itu ada dia, yaitu yang dapat dipikirkan dan yang tidak dapat
dipikirkan. Objek-objek yang dapat dipikirkan hanyalah objek-objek yang bisa
diindera atau pengaruhnya bisa diindera, sedangkan objek yang tidak dapat
dipikirkan adalah objek yang realitasnya tidak ada. Objek yang memiliki fakta
dan dapat diindera, atau yang pengaruhnya dapat diindera, jika dipikirkan maka
akan menghasilkan pemikiran. Sedangkan objek yang tidak memiliki fakta dan
tidak dapat diindera pengaruhnya, maka tidak akan menghasilkan pemikiran,
tetapi akan menghasilkan khayalan.
1.
Objek yang menghasilkan pemikiran
Kita
ambil contoh di atas tentang ada dan tidaknya hujan. Anda berkesimpulan bahwa
hujan itu memang ada, habis turun. Itu benar. Pengaruhnya jelas terlihat
dimana-mana; ada pepohonan basah, rumah-rumah basah, genting-genting basah,
jalanan basah, genangan air dimana-mana, air selokan mengalir lancar, dan
sebagainya. Ini akan menghasilkan pemikiran, bahwa hujan itu memang benar-benar
ada. Sekali pun Anda tidak bisa melihat hujannya, tetapi hakikatnya memang ada.
Ini karena memang pengaruh hujan ada dan terlihat di depan mata Anda.
Contoh
lain: Pemikiran bahwa Sang Pencipta itu ada ataukah tidak ada. Jika konteks
yang ditanyakan adalah: ada atau tidak, maka ini adalah sebuah pemikiran.
Mengapa? Ya jelas saja, pengaruh-Nya bisa terlihat dimana-mana. Alam semesta,
manusia, dan kehidupan (makhluk) adalah bukti nyata bahwa Sang Pencipta (Al
Khaliq) itu ada. Ketiganya (alam semesta, manusia, dan kehidupan), adalah
pengaruh dari keberadaan Sang Pencipta.
Ini
pulalah yang juga ditekankan Allah kepada manusia, yaitu agar manusia
memikirkan hanya untuk hal-hal yang bisa diindera. Alquran, di dalam banyak
ayat-Nya, Allah telah memerintahkan manusia untuk memikirkan tentang hal-hal
yang inderwi untuk meraih kesadaran akan hubungan manusia dengan Allah. Yaitu
bahwa hubungan manusia dengan Allah adalah antara hamba dengan Tuhan. Sehingga
dengan begitu, manusia bisa taat kepada Allah dengan ketenteraman hati.
Contoh:
“Maka apakah mereka tidak
memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan.” (QS. Al Ghashiyyah:
17)
Ayat di
atas memerintahkan kepada kita untuk memikirkan unta. Unta adalah sesuatu yang
bisa diindera.
“Dan mengapa mereka tidak memikirkan
tentang (kejadian) diri mereka?” (QS. Ar Rum: 8)
“Dan tidakkah manusia itu memikirkan
bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya dahulu, sedang dia tidak ada sama
sekali.” (QS. Maryam: 67)
Ayat di
atas memerintahkan kita untuk memahami diri kita (manusia). Kita ini adalah
makhluk yang bisa diindera.
“Kemudian makanlah dari tiap-tiap
(macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).
Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di
dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
memikirkan.” (QS. An Nahl: 69)
“Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air
hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah)
bagi kaum yang memikirkan.” QS. An Nahl: 11)
Buah-buahan
madu, lebah, zaitun, korma, anggur dan segala buah-buahan lainnya adalah
sesuatu yang bisa diindera.
“Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan
bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan
padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada
siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Ar Ra’du: 3)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut
membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit
berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan
Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan
dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al Baqarah:
164)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191)
Ayat-ayat
di atas memerintahkan kita untuk memperhatikan alam semesta seperti bumi,
gunung, gunung, sungai, makhluk hidup yang berpasang-pasangan, siang-malam,
angin, hewan, dan sebagainya. Itu semua adalah hal-hal yang bisa kita indera.
Oleh karena itu, Allah tidak akan memerintahkan hamba-Nya memikirkan tentang
sesuatu yang tidak mungkin bisa diindera.
Ini
sangat terlihat di Makkah ketika sebelum Islam datang, dan di awal Islam
datang. Pada masa itu, di Makkah banyak berkembang paganisme (penyembah
berhala). Agama pagan, jauh lebih berkembang di Makkah, daripada agama Nasrani.
Mengapa? Sebab, bangsa Arab, pada umumnya mereka tidak suka berpikir untuk
hal-hal yang tidak bisa diindera. Hal-hal yang tidak bisa diindera, mereka
tinggalkan. Mereka tidak suka dengan cara berakidah yang berbelit-belit.
Agama
Nasrani tidak berkembang pada masa itu. Karena agama nasrani mengajarkan
tentang trinitas; tiga adalah satu, satu adalah tiga. Hal ini, dalam pandangan
orang Makkah, dianggap sebagai sesuatu yang tidak ada realitasnya. Bagaimana
bisa satu dikatakan tiga, dan tiga dikatakan satu? Jelas ini tidak masuk akal.
Padahal satu adalah satu dan tiga adalah tiga. Oleh karena itu, agama Nasrani
tidak berkembang banyak di Makkah. Yang justru berkembang adalah paganisme.
Mereka berpikir yang simpel-simpel saja. Mereka membuat Tuhan bisa diindera
(berhala), lalu kemudian mereka sembah. Simpel sekali. Demikian pula dengan
Islam. Islam juga bisa diterima dengan baik karena ayat-ayat Allah memang
memerintahkan orang Makkah untuk memikirkan sesuatu yang bisa diindera dan bisa
dipikirkan.
2.
Objek yang tidak menghasilkan pemikiran
Objek
yang tidak menghasilkan pemikiran akan menghasilkan khayalan, bukan pemikiran.
Objek yang tidak menghasilkan pemikiran berangkat dari fakta yang tidak
memiliki realitas. Keyakinan akan hasil dari hal ini adalah bersifat dugaan
(sangkaan, zhanni). Jika Anda, nekat
memikirkannya, bisa dibilang, Anda sedang berpikir yang tidak-tidak.
Kita
ambil contoh di atas lagi. Anda sudah yakin bahwa hujan memang turun. Tetapi
yakinkah Anda bahwa hujan yang turun itu disertai badai, petir, angin ribut,
atau hanya gerimis, atau yang lainnya? Jika Anda, yakin dengan salah satu
jawabannya, maka pertanyaannya adalah: Dari mana Anda yakin dengan jawaban
Anda? Misalnya, Anda yakin bahwa hujan yang turun itu sangat lebat dengan
melihat efek yang ada, misal pohon-pohon pada tumbang. Lalu dari mana Anda
yakin bahwa hujan memang turun dengan lebat? Tidak lain, (jika Anda berpikir
seperti ini), Anda sedang menduga-duga. Atau dengan kata lain, Anda sedang
berkhayal. Berkhayal tentang apa? Tentang hujan, yang Anda sendiri tidak
melihatnya.
Contoh
lagi: Tentang Zat Allah. Allah itu Maha Berfirman. Kemudian ditanyakan:
bagaimana cara Allah berfirman? Apakah dengan mulut atau lisan? Jika iya,
bentuknya seperti apa? Sungguh, jika kita nekat memikirkannya, kita sama saja
dengan sedang berkhayal. Bermimpi. Meraba-raba sesuatu yang tidak jelas. Atau
yang lain. Misalnya Allah Maha Mendengar. Bagaimana cara Allah mendengar?
Apakah dengan telinga? Ataukah telinga Allah berbeda dengan telinga manusia?
Atau dikatakan, Allah mendengar tetapi tidak seperti mendengarnya manusia?
Sungguh, hal ini telah membuat Anda kepayahan dalam berpikir. Anda hanya akan
mengalami kesia-siaan belaka. Sesungguhnya Anda tidak sedang berpikir, tetapi
sedang berkhayal. Dalam hal keyakinan (akidah) jelas hal ini tidak
diperbolehkan.
Contoh
lagi. Yaitu tentang ruh/roh (nyawa, sirrul hayah). Nyawa itu
ada atau tidak? Jika ada, bentuknya seperti apa? Apakah seperti ketika manusia
itu mati? Atau seperti apa? Tentang hal ini, kita hanya diperintahkan untuk
mengimani keberadaannya saja. Bukan membahas hakikat ruh. Allah berfirman,
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang
roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu
diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al Isra’: 85)
Jadi,
untuk hal-hal yang tidak bisa diindera, maka kita jangan memikirkannya.
Penutup:
Keterbatasan Akal Manusia
Sebagaimana
telah kita ketahui bersama, bahwa akal sangat berperan penting dalam aktivitas
berpikir. Bukan hanya itu, untuk memikirkan tentang Sang Pencipta dan dalam hal
keyakinan, semua dibutuhkan akal. Tetapi ingat, kita harus menyadari bersama
bahwa manusia itu adalah makhluk. Sifat makhluk adalah lemah, terbatas, dan
membutuhkan. Oleh karena itu, segala yang dimiliki atau dihasilkan makhluk
(dalam hal ini adalah manusia) juga lemah, terbatas, dan membutuhkan. Demikian
pula akal. Akal manusia juga lemah dan terbatas.
Kelemahan
akal manusia, terlihat dari keterbatasan kemampuannya yang hanya bisa
memikirkan objek-objek yang bisa diindera. Akal manusia hanya bisa memikirkan
hal-hal yang bisa diindera, selain itu tidak bisa. Ini adalah kelemahan akal
manusia. Oleh karena itu, karena akal manusia lemah, maka setiap hal-hal yang
tidak bisa diindera, baik realitasnya atau pengaruhnya, maka hendaknya tidak
dibahas. Mengapa? Ya jelas saja, itu merupakan suatu perbuatan yang sia-sia.
Bagaimana bisa kita memikirkan sesuatu yang tidak ada realitasnya? Itu namanya
tidak sedang berpikir, tetapi sedang berkhayal.
Jadi,
kita memang harus menyadari bersama bahwa akal kita ini lemah. Sehingga, jika
kita membahas sesuatu yang memang tidak bisa diindera, itu merupakan suatu
kesia-siaan. Dan setiap pembahasan tentang sesuatu yang tidak bisa diindera
atau pengaruhnya tidak bisa diindera, harus dihentikan.
Wallahu
a’lam..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar